fbpx

Disable atau Difabel?

Mengapa difabel silahkan di baca di post Analisis Kritis Diskriminasi terhadap Kaum Difabel, sebagai konter atas wacana liberal yang berkembang di masyarakat dan terkonstruksi sangat kuat yaitu ‘normal’ dan ‘tidak normal’. Hal yang membawa pemaknaan ‘baik’ dan ‘tidak baik’, ‘sehat’ atau ‘sakit’ hingga ‘mampu’ dan ‘tidak mampu’. Mungkin jika keluarga atau anak anda memiliki kekurangan fisik maka dengan tidak mudah anda akan mengatakannya ‘cacat’ atau ‘tidak normal’. Pengkategorian meskipun dengan cara sains pun akan memberikan impak yang kurang baik karena pada akhirnya bisa jadi masyarakat bisa menganggap sebagai ‘berguna’ dan ‘tak berguna’ setelah melakukan tritmen-tritmen dalam institusi pendidikan luar biasa ataupun lembaga rehabilitasi penyandang cacat.

Cacat atau Disability

Definisi disable betapa mengerikannya:

A disability may be physical, cognitive, mental, sensory, emotional, developmental or some combination of these.
Disabilities is an umbrella term, covering impairments, activity limitations, and participation restrictions. An impairment is a problem in body function or structure; an activity limitation is a difficulty encountered by an individual in executing a task or action; while aparticipation restriction is a problem experienced by an individual in involvement in life situations. Thus disability is a complex phenomenon, reflecting an interaction between features of a person’s body and features of the society in which he or she lives.
—World Health Organization[1]
Many people would rather be referred to as a person with a disability instead of handicapped. “Cerebral Palsy: A Guide for Care” at the University of Delaware offers the following guidelines:[2]
Impairment is the correct term to use to define a deviation from normal, such as not being able to make a muscle move or not being able to control an unwanted movement. Disability is the term used to define a restriction in the ability to perform a normal activity of daily living which someone of the same age is able to perform. For example, a three year old child who is not able to walk has a disability because a normal three year old can walk independently. Handicap is the term used to describe a child or adult who, because of the disability, is unable to achieve the normal role in society commensurate with his age and socio-cultural milieu. As an example, a sixteen-year-old who is unable to prepare his own meal or care for his own toileting or hygiene needs is handicapped. On the other hand, a sixteen-year-old who can walk only with the assistance of crutches but who attends a regular school and is fully independent in activities of daily living is disabled but not handicapped. All disabled people are impaired, and all handicapped people are disabled, but a person can be impaired and not necessarily be disabled, and a person can be disabled without being handicapped.
An individual may also qualify as disabled if he/she has had an impairment in the past or is seen as disabled based on a personal or group standard or norm. Such impairments may include physical, sensory, and cognitive or developmental disabilities. Mental disorders (also known as psychiatric or psychosocial disability) and various types of chronic disease may also qualify as disabilities.
Some advocates object to describing certain conditions (notably deafness and autism) as “disabilities”, arguing that it is more appropriate to consider them developmental differences that have been unfairly stigmatized by society.[3]
A disability may occur during a person’s lifetime or may be present from birth.
Sumber: Wikipedia
Definisinya dalam bahasa : Cacat:

Cacat (Inggris:Disability) merupakan kelainan pada organ tubuh makhluk hidup yang seharusnya tidak dimiliki oleh suatu organ tersebut atau luar biasa cute. Program Kebijakan Pemerintah bagi Penyandang Cacat cenderung berbasis belas kasihan (charity), sehingga kurang memberdayakan penyandang cacat untuk terlibat dalam berbagai masalah. Kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang penyandang cacat menyebabkan perlakuan stakeholder unsur pemerintah dan swasta yang kurang peduli.
Sumber Wikipedia
Bagaimana mereka bisa dicacatkan?
Sebagai orang timur yang mengahargai budaya, dekat dengan alam bahkan kejadian terbentuknya alam. Akan sangat menghargai apapun yang ada dan bagaimana nanti mencari solusinya. Mereka terlahir dengan keadaan tak bisa mendengar, buta, bisu ataupun dalam perjalanan hidupnya menjadi tak bisa mendengar adalah hal yang biasa yang jikapun pembedaan ‘normal’ dan ‘cacat’ itu berdasarkan statistik kurve normal, maka orang yang tak bisa mendengar pun banyak dan sudah menjadi hal biasa di sekitar kita. Terkecuali mungkin di militer, ketika masuk harus dalam keadaan sempurna namun ketika perang dan terluka maka dia mungkin menjadi orang yang tak berguna, akan tetapi apakah hal tersebut manusiawi dan wajar?.

Metode yang digunakan penjajah Belanda dahulu ketika membuat cacat para pejuang Republik adalah dengan membuatnya menjadi pesakitan, orang sakit, tidak normal, dan harus di buang ke Digul untuk bisa disembuhkan atau tobat. Dilakukan oeh republik juga ketika pasca tragedi 1965 yaitu dengan membuang orang-orang PKI atau yang dituduh PKI ke pulau Buru atau Nusakambangan, untuk disembuhkan dari kelalaiannya bertuhan dan dicacatkan hak-hak kewarganegaraannya karena komunis. Demikian juga orang yang tuli atau bisu atau cacat apa akan dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa, agar bisa berpendidikan bareng dengan orang cacat lainnya. Lumayan sekarang ada pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, namun mengapa harus khusus dan spesial, mengapa tidak diberikan silabus untuk anak tuna netra, anak tuli, cerebral palsi, anak autis dan sebagainya sehingga masih saja berbau pencacatan.

Difabel sebagai konter hegemoni
Disabilitas dalam pandangan masyarakat tidak akan pernah berubah ketika masih memakai wacana ‘cacat’ dan ‘normal’ atau ‘anak normal’ dengan ‘anak berkebutuhan khusus’. Pengkotak-kotakan ini membawa ragam makna dan ragam ketidakadilan yang masih saja melanggengkan wacana lama.Sekolah-sekolah yang mengaku mengadopsi pendidikan inklusif pun secara nyata hanya bisa dihitung dengan jari di Nusantara ini. Mereka semua tidak akan pernah paham dengan konter wacana difabel, pendidikan inklusi ataupun persamaan perlakuan, apalagi persamaan hak yang selalu digembar-gemborkan yaitu seperti ‘education for all’ yang malah sama sekali amburadul dengan memberikan alat uji dan materi yang sama pada siswa, atau bahkan malah #sesatpikir dengan tidak ada pembedaan antara miskin dan kaya, sehingga siapa yang mau sekolah berstandar internasional, tarifnya segini, persetan anda kaya atau miskin. Mereka sama dan setara dalam arti jumlah rupiah yang sama.

Disabilitas memiliki arti jelas yaitu ketidakmampuan, sementara difabel dengan tegas mengatakan sebagai kemampuan yang berbeda. Jadi apakah anda tidak memiliki kemampuan atau memiliki kemampuan tertentu yang berbeda bahkan lebih baik meski anda tak bisa berjalan, tuli atau buta?. Harap maklum istilah-istilah di Psikolgi pun mengatakan dengan disorder dan sebagainya, namun apakah itu sesuai dengan budaya dan kearifan kita, yang dengan tanpa filter langsung mencomot istilah-istilah dalam bahasa tes psikologi?

So? Mulai hari ini ada suatu kesepakatan yaitu menghapuskan penggunaan istilah “cacat” terhadap kamu difabel 🙂 (Suryaden)

Sumber: http://suryaden.com/syahadat-indonesia/disable-atau-difabel

Open chat
1
Need help?
PLD UB
Hello, can we help you?